Hati-hati di Internet
Assalamualaikum, pembaca yang budiman.
Disclaimer. Yang mau saya bahas kali ini bukanlah sebuah channel penuh meme di Youtube dengan nama yang serupa dengan judul, yah. Hehe. Tapi saya ingin membahas bagaimana penggunaan internet saat ini terutama dari segi apa yang perlu diwaspadai.
Berbicara soal internet, banyak orang yang langsung teringat pada mesin pencari, situs streaming video, game online, media sosial dan sebagainya. Ya, kata internet mencakup banyak hal. Tidak dapat dipungkiri internet memiliki sisi positifnya juga. Namun berdasarkan pengamatan saya terhadap orang di sekitar saya, tidak banyak yang ingat bahwa internet juga memiliki sisi negatifnya. Internet merupakan tempat jejak-jejak digital kamu untuk 'abadi'. Abadi di sini maksudnya apa yang telah berada di internet akan terus ada dan bisa ditemukan untuk waktu yang sangat lama, namun ia bergantung pada syarat di mana ia dipublikasikan.
Misalnya nih, kamu publikasikan foto kamu bersama pacar di Path
Kebiasaan reupload ini perlu sangat diwaspadai ketika mempublikasi sesuatu. Kamu mungkin bisa hapus konten, hapus channel, atau hapus akun tapi kalau konten kamu sudah di-reupload ke platform lain oleh orang lain dan banyak yang melakukannya, itu bisa mempersulit kamu untuk melenyapkannya dari peredaran di internet. Seperti misalnya dulu ngetrend dubmash, musical.ly, snapchat, terus sekarang tiktok. Ketika kamu mempublikasikannya pasti yang teringat itu hanya akan ada di platform itu, padahal ternyata di platform lain seperti Youtube bisa jadi ada yang membuat kompilasi konten kamu.
Saat ini kamu bisa menemukan konten seseorang dari Instagram (Story, Live, Post) baik video maupun gambar di Youtube. Yang mengunggahnya orang lain bukan si pemilik konten. Kompilasi vine, meme, tiktok, dan masih banyak lagi di Youtube. Kemudian konten-konten tersebut bisa ditonton publik, bebas dikomentari siapa saja, dari anak SD sampai orangtua, dari orang yang sepaham dengan pemikiran kamu sampai yang bertentangan dengan pikiran kamu, dari yang mengkritik untuk membangun sampai yang mengkritik untuk menjatuhkan, atau bahkan sekedar numpang eksis dan memuaskan ego dengan mengemis like para penonton.
Tidak hanya itu, sekarang juga ada situs-situs pihak ketiga seperti Twigur dan Picktame yang mengarsipkan konten kamu di Twitter dan Instagram. Cobain deh cari akun media sosial kamu sendiri di Google, pasti muncul situs lain yang juga merekam konten kamu.
Belum lagi zaman sekarang ini muncul istilah 'crack' dan 'meme' di mana konten publikasi kamu bisa saja dipotong, diedit, bahkan direka-ulang dengan tujuan membuat orang lain tertawa atau menertawakan kamu. Memang tidak semua orang bisa terkena ini. Kamu juga mungkin berpikir 'ah hidup saya gini-gini aja, biasa-biasa aja, siapa yang mau berbuat begitu pada saya'. Ya, mungkin hidup kamu saat ini biasa-biasa saja, tapi bagaimana kalau nanti kamu sudah sukses? Bagaimana jika ada orang yang tidak senang melihat kesuksesanmu dan mencoba menghancurkanmu dengan konten-konten masa lalumu? Atau kamu memang tidak berencana sukses nih?
BBC bahkan meliput kisah orang-orang yang pernah menjadi korban meme dan viral dari perspektif korban. Cek artikelnya di sini. |
Pada contoh kasus yang lain, bisa saja foto yang dipublikasikan saat ini dengan percaya diri dan tidak peduli apa kata orang di masa mendatang kamu tidak ingin orang lain melihatnya. Apa yang kamu publikasikan di masa lalu bisa jadi bahan kritikan orang untuk menjatuhkanmu, menghalangi kamu dapat kerja, memutuskan kontrak kerja idaman kamu, atau bahkan menyeret kamu ke pengadilan. Hal ini karena di tahun 2019, seluruh jejak digital kamu semakin mudah ditemukan. Orang-orang juga semakin banyak yang suka melakukan hate speech, cyberbullying, body shaming, bahkan hingga mengkritisi sampai ke perilaku kamu sebagai umat suatu agama.
Kasus seperti ini sudah banyak terjadi dalam berbagai skenario bahkan tidak sedikit yang lebih parah dari ini. Untuk menceritakannya satu per satu tulisan ini mungkin akan kepanjangan. Bagi yang mengikuti perkembangan korean music industry mungkin udah bisa kebayang siapa aja yang menjadi korban dari skenario ini.
Contoh menghapus jejak digital ini terjadi pada salah satu kawan perempuan saya. Dua tahun lalu tiba-tiba dia DM saya di Instagram minta tolong foto yang ada dirinya dihapus dari album akun Facebook saya. Padahal saya udah lama banget tidak aktif Facebook, sudah lupa dengan apa aja isinya. Permintaannya ini karena pada foto tersebut dia belum berhijab. Ada pula kawan yang minta fotonya dihapus karena difoto itu dia sama mantan pacarnya. Mereka merupakan orang biasa, bukan artis, namun ketika kehidupan mereka terus berubah akhirnya ada masa lalu yang perlu dihapus/disembunyikan dari internet. Untungnya untuk kasus mereka solusinya simpel, tinggal DM saya dan saya berkenan karena saling kenal. Bagaimana jika yang mengunggah tidak dikenal sama sekali atau tidak bisa dihubungi?
Sumber : visualcapitalist.com |
Selain skenario tersebut, internet yang dikuasai oleh perusahaan teknologi besar seperti Google dan Facebook (termasuk WhatsApp dan Instagram), setiap hari setiap saat selalu mengumpulkan data terkait diri kamu. Dari mulai data pribadi seperti nama, alamat, nomor hp, alamat email, pendidikan, hingga metadata seperti siapa yang sering kamu kontak, kata apa yang sering kamu gunakan, keyword apa yang kamu cari, apa yang kamu sukai, berapa lama kamu aktif, dan sebagainya. Semua itu merupakan harga yang kamu bayarkan untuk menggunakan layanan mereka secara gratis.
Untuk hal satu ini, cukup debatable. Memang di satu sisi perusahaan-perusahaan itu membutuhkan data kita untuk menghasilkan uang, bagaimana pun caranya, agar dapat terus berkembang dan memudahkan kita, tapi disisi lain hacker atau pihak yang tidak bertanggung jawab kini juga jadi lebih mudah mengetahui segala sesuatu tentang kita. Saya melihat hal ini dalam sebuah dokumenter berjudul 'The Power of Privacy' dari The Guardian, sebuah media jurnalis independen Inggris.
Dalam film dokumenter berdurasi 28 menit itu, mengisahkan bagaimana sang wartawan menantang seorang profesional digital detective untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi terkait dirinya hanya dari nama sang wartawan saja. Privasi wartawan tersebut terbongkar dari apa yang secara sukarela ia bagikan di internet (social media, blogs, yelp, dll), yang selama ini dianggap tidak penting, biasa saja untuk di-share, ternyata sangat mudah ditemukan menggunakan software untuk melakukan digital profiling, yakni mengetahui siapa kamu sebanyak mungkin dari jejak digital kamu.
Saya cukup tersentap melihat bagaimana tebalnya informasi yang ditemukan tentang si wartawan hanya dari sebuah nama. Nama tersebut di zaman sekarang yang hyper konektivitas ini sudah terkoneksi pada sebuah akun email dan nomor telepon, di mana keduanya mungkin juga telah terkoneksi dengan akun bank, kartu kredit, akun sosial media, akun googlemaps, akun ojek online, akun toko online, akun dompet digital, akun registrar website, bahkan sebuah perusahaan. Belum lagi sekarang nomor HP sudah terkoneksi pula dengan data nomor KTP dan Kartu Keluarga. Semakin banyak terhubung, semakin mungkin untuk profiling siapa kamu secara lengkap.
Dari data itu sang digital detective, atau kalau orang awamnya kita bisa sebut stalker, mampu menemukan riwayat tempat tinggal wartawan tersebut, foto-foto aib-nya dulu, bahkan data perusahaannya. Ingat, itu semua adalah data yang secara sadar dan sukarela diunggah oleh wartawan tersebut ke internet dan si detektif mengumpulkannya secara legal. Begitu banyak data yang bisa diperoleh, lalu bagaimana jika disalahgunakan untuk memframing atau meneror diri kita? Membuat akun palsu dan bertindak seperti asli bisa mudah dilakukan.
Terkait dengan topik privasi di internet ini tentu panjang yang perlu dibahas. Saya mempelajarinya juga dari beberapa video panjang di Youtube dan bukan dari satu-dua hari belajar. Saya telah mengikuti dan sadar tentang privasi digital ini cukup lama. Mungkin kalau kamu sudah lama mengikuti media sosial saya bisa notice cukup banyak yang berubah. Untuk pemahaman lebih lanjut mungkin kamu bisa ubek-ubek sendiri channel The Hated One. Berikut ini salah satu videonya berjudul 'Why Privacy Matters Even If You Have Nothing to Hide' sebagai referensi awal.
Saya sangat menyarankan kamu untuk menonton dua video di atas. Pahami sendiri dengan perspektif kamu apakah kamu perlu untuk mulai menjaga privasi kamu. Tulisan saya ini mungkin masih minim data, mereka lah yang lebih lengkap daripada saya. Saya hanya berharap tulisan ini dapat meningkatkan awareness kamu terhadap privasimu sendiri untuk kebaikan kamu.
Saya harap pembaca yang budiman pun berhati-hati ya di Internet, bukan hati-hati hanya karena sekarang ada UU ITE saja. 😁😂
1 komentar
hehe